Arthur Wynne sekitar tahun 1913 yang menciptakan TTS. Suatu
ketika, Arthur yang bekerja di sebuah media bernama New York World mendapat
tugas dari bosnya untuk membuat semacam permainan yang akan dimuat di media itu
pada bagian “fun”. Berbagai hal dicobanya untuk menciptakan permainan yang
menarik pembaca.
Suatu kali, ia teringat pada masa kecilnya. Arthur ingat
bahwa ia pernah memainkan sebuah permainan yang dinamakan “Magic Squares”.
Permainan itu adalah permainan kata-kata, dimana sang pemain harus menyusun
kata agar sama mendatar dan menurun hingga membentuk kotak. Dari permainan ini,
ia kemudian mencoba berkreasi dengan menambah luasan kata-kata dengan bentuk
yang lebih kompleks. Dan, untuk menyusun hal itu, ia memberi semacam pertanyaan
untuk membuka kunci jawabannya.
TTS ala Arthur ini kemudian muncul pertama kali pada 21
Desember 1913. Bentuknya waktu itu dibuat dengan pola ketupat. Sederhana dan
sangat mudah dimainkan. Namun, justru dengan kesederhanaan dan kemudahan ini,
membuat banyak orang langsung menyukai permainan ini. Maka, kesuksesan ini
segera diikuti oleh berbagai media lain. Dan, saking suksesnya, permainan ini
pun dibukukan pada tahun 1924.
Kemudian, pada tahun 1942-an, New York Times, koran ternama
di Amerika membuat semacam standar untuk TTS. Standar itu seperti bentuk yang
simetris dan panjang kata minimal tiga huruf. Hal ini membuat permainan TTS
makin asyik dan populer, hingga akhirnya menyebar ke berbagai belahan dunia.
Dahulu kala terdapat kerajaan besar di Pulau Halmahera. Rajanya
belum lama meninggal dunia. Ia meninggalkan dua anak laki-laki dan satu anak
perempuan. Mereka bernama Baginda Arif, Putra Baginda Binaut, dan Putri Baginda
Nuri.
Putra Baginda Binaut sangat menginginkan kedudukan sebagai raja untuk
menggantikan ayahnya. Keinginan itu disampaikan kepada patih kerajaan.
“Aku harus menggantikan kedudukan ayahku.” Kata Binaut kepada sang Patih dengan
penuh keyakinan.
Agar sang Patih ikut mendukung rencana tersebut, maka Binaut memberi janji
bahwa jabatan sang Patih akan tetap dipertahankan, dan ia akan diberi hadiah
emas berlian. Berkat bujuk rayu dan janji itulah, Sang Patih bersedia mendukung
Binaut menjadi raja. Sang Patih segera mengatur para pengawal kerajaan untuk
menangkap Sri Baginda Ratu, Putra Baginda Arif dan Putri Baginda Nuri. Setelah
ditangkap, mereka dijebloskan di penjara bawah tanah.
“Kanda Binaut benar-benar kejam! Tamak! Tak tahu diri!” umpat Putri Baginda
Nuri dengan penuh emosi. Namun, Sri Baginda Ratu meminta agar Nuri bersabar dan
tawakal dalam menghadapi cobaan ini. “Yang benar akan tampak benar dan yang
salah akan tampak salah. Dan yang salah itu, kelak akan mendapatkan hukuman
yang setimpal,” kata Sri Baginda Ratu menghibur dengan penuh keibuan, betapapun
sangat sakit hati melihat kekejaman putra kandungnya.
Binaut merasa gembira setelah menjebloskan ibu dan saudara kandungnya ke
penjara. Ia mengumumkan kepada rakyat kerajaan bahwa Sri Baginda Ratu dan
putra-putrinya mengalami musibah di laut. Saat itu pula, Putra Baginda Binaut
minta kepada para pembesar istana untuk segera dilantik menjadi raja. Sejak
itu, Sri Baginda Binaut bersikap angkuh dan tinggi hati. Ia menganggap sebagai
raja yang paling berkuasa di muka bumi ini.
Demi kepentingan dirinya, ia memerintahkan kepada seluruh rakyat kerajaan agar
bekerja giat untuk membangun istana megah. Selain itu, diberlakukan berbagai
pungutan pajak, diantaranya pajak hasil bumi, pajak hewan, pajak tanah. “Bukan
main! Raja Binaut penghisap dan penindas rakyat!” kata salah seorang penduduk
kepada yang lain. Mereka mengeluh dengan peraturan yang dikeluarkan Raja Binaut
yang sangat merugikan rakyat. Tetapi, mereka takut membantah, apalagi berani
melawan perintah raja, pasti kena hukuman berat.
Ada seorang pelayan istana raja bernama Bijak. Ia melarikan diri dari istana
dan membentuk sebuah pasukan tangguh melawan raja Binaut. Paling tidak, mereka
dapat membebaskan Sri Baginda Ratu dan putra-putrinya. “Kita harus segera
bertindak menyelamatkan mereka,” kata Bijak dengan penuh harap. Hal ini
didukung teman-temannya.
Waktu itu, banyak para pegawai istana yang telah membelot
bergabung dengan Bijak. Bijak pun telah mempelajari bagaimana mengadakan
penyelamatan itu. Bila penyelamatan berhasil, direncanakan mengadakan
penyerangan ke istana Raja Binaut. Berkat kepemimpinan Bijak, dalam sekejap
mereka berhasil menyelamatkan Sri Baginda Ratu dan putra-putrinya yang
dipenjara Binaut. Mereka langsung dibawa ke hutan.
“Kuucapkan terima kasih tak terhingga,” ucap Sri Baginda Ratu dengan tersendat.
Mereka tampak kurus kering karena selama dipenjara di bawah tanah jarang makan
dan minum. Bijak pun menyampaikan kepada Sri Baginda Ratu akan mengadakan
penyerangan ke istana. Tetapi, Sri Baginda Ratu tidak setuju, ia tidak mau
berlumuran darah bangsanya sendiri. Ketamakan, kebengisan, iri dan dengki akan
kalah dengan doa permohonan yang disampaikan kepada Tuhan.
Raja Binaut berlaku semena-mena terhadap rakyatnya. Sang Patih yang selalu
mendukung keputusan Raja Binaut lama-kelamaan tidak senang dengan perilaku
Raja. Tetapi ia tidak berani mengeluarkan sikap yang melawan. Kalau itu
dilakukan pasti ia langsung dipecat dan dijebloskan penjara. Saat itu penjara
penuh dengan tahanan. “Siapa yang melawan Raja, hukuman penjaralah tempatnya.”
Itulah kesombongan Raja Binaut. Karena ia merasa yang paling berkuasa dan
paling tinggi.
Namn tak disangka, sebuah bencana alam terjadi. Sebuah gunung meletus dengan
sangat dahsyat. Lahar panas mengalir ke segala penjuru. Istana Raja Binaut pun
menjadi sasaran lahar panas. Ternyata sebagian besar lahar panas telah meluluh
lantakkan bangunan istana yang baru saja selesai dibangun dari hasil keringat
rakyat.
Raja
Binaut kebingungan mencari perlindungan. Ia lari pontang-panting tak tahu arah
tujuan.Anehnya, lahar seolah-olah mengejar kemanapun Raja Binaut lari.
“Tolong-tolong!” teriak Binaut. Lahar panas itu sedikit demi sedikit menempel
di kaki Binaut. Seketika itu juga kakinya melepuh dan kulitnya terkelupas. Ia
berusaha untuk tidak berhenti berlari. Lahar panas mulai menjalar ke tubuhnya.
Ia sangat tersiksa. Ketika ia mengalami siksaan lahar panas itu ia ingat
ibunya. Ia mohon ampun. “Ampunilah aku, bu! Maafkanlah aku, bu! Aku sudah tidak
kuat menanggung penderitaan ini! Aku tidak akan mengkhianati ibu, kakak Arif
dan adik Nuri lagi. Maafkanlah aku! Ibu! Ibu!” teriak Binaut karena kesakitan.
Namun teriakan itu hilang perlahan-lahan dan akhirnya ia meninggal.
Jasad Binaut terdampar di sebuah pantai. Seketika itu juga tempat itu berubah
menjadi sebuah Tanjung. Konon, tanjung itu sering terdengar orang menangis
minta belas kasihan karena mengalami siksaan yang amat sangat. Kini tempat
terdamparnya Binaut itu dinamakan Tanjung Menangis.
pada dahulu kala terdapat sebuah
kerajaan besar yang bernama Prambanan. Rakyatnya hidup tenteram dan damai.
Tetapi, apa yang terjadi kemudian? Kerajaan Prambanan diserang dan dijajah oleh
negeri Pengging. Ketentraman Kerajaan Prambanan menjadi terusik. Para tentara
tidak mampu menghadapi serangan pasukan Pengging. Akhirnya, kerajaan Prambanan
dikuasai oleh Pengging, dan dipimpin oleh Bandung Bondowoso.
Bandung Bondowoso seorang yang suka
memerintah dengan kejam.
"Siapapun yang tidak menuruti perintahku, akan dijatuhi hukuman
berat!", ujar Bandung Bondowoso pada rakyatnya.
Bandung Bondowoso adalah seorang yang sakti dan mempunyai pasukan jin. Tidak
berapa lama berkuasa, Bandung Bondowoso suka mengamati gerak-gerik Roro
Jonggrang, putri Raja Prambanan yang cantik jelita. "Cantik nian putri itu.
Aku ingin dia menjadi permaisuriku," pikir Bandung Bondowoso.
Esok harinya, Bondowoso mendekati Roro Jonggrang. "Kamu
cantik sekali, maukah kau menjadi permaisuriku ?", Tanya Bandung Bondowoso
kepada Roro Jonggrang. Roro Jonggrang
tersentak, mendengar pertanyaan Bondowoso.
"Laki-laki ini lancang sekali, belum kenal denganku
langsung menginginkanku menjadi permaisurinya", ujar Roro Jongrang dalam
hati. "Apa yang harus aku lakukan ?". Loro Jonggrang menjadi
kebingungan. Pikirannya berputar-putar.
Jika ia menolak, maka Bandung Bondowoso akan marah besar dan membahayakan
keluarganya serta rakyat Prambanan. Untuk mengiyakannya pun tidak mungkin,
karena Roro Jonggrang memang tidak suka dengan Bandung Bondowoso.
"Bagaimana, Roro Jonggrang
?" desak Bondowoso. Akhirnya Roro Jonggrang mendapatkan ide. "Saya
bersedia menjadi istri Tuan, tetapi ada syaratnya," Katanya.
"Apa syaratnya? Ingin harta yang berlimpah? Atau Istana yang
megah?".
"Bukan itu, tuanku, kata Roro Jonggrang. Saya minta dibuatkan candi, jumlahnya
harus seribu buah. "Seribu buah?" teriak Bondowoso. "Ya, dan
candi itu harus selesai dalam waktu semalam."
Bandung Bondowoso menatap Roro Jonggrang, bibirnya bergetar menahan amarah.
Sejak saat itu Bandung Bondowoso berpikir bagaimana caranya membuat 1000 candi.
Akhirnya ia bertanya kepada penasehatnya. "Saya percaya tuanku bisa
membuat candi tersebut dengan bantuan Jin!", kata penasehat. "Ya,
benar juga usulmu, siapkan peralatan yang kubutuhkan!"
Setelah perlengkapan di siapkan. Bandung Bondowoso berdiri di depan altar batu.
Kedua lengannya dibentangkan lebar-lebar. "Pasukan jin, Bantulah
aku!" teriaknya dengan suara menggelegar. Tak lama kemudian, langit
menjadi gelap. Angin menderu-deru. Sesaat kemudian, pasukan jin sudah
mengerumuni Bandung Bondowoso. "Apa yang harus kami lakukan Tuan ?",
tanya pemimpin jin. "Bantu aku membangun seribu candi," pinta Bandung
Bondowoso. Para jin segera bergerak ke sana kemari, melaksanakan tugas
masing-masing. Dalam waktu singkat bangunan candi sudah tersusun hampir
mencapai seribu buah.
Sementara itu, diam-diam Roro Jonggrang mengamati dari
kejauhan. Ia cemas, mengetahui Bondowoso dibantu oleh pasukan jin.
"Wah, bagaimana ini?", ujar Roro Jonggrang dalam hati. Ia mencari
akal. Para dayang kerajaan disuruhnya berkumpul dan ditugaskan mengumpulkan
jerami.
"Cepat bakar semua jerami itu!" perintah Roro Jonggrang. Sebagian
dayang lainnya disuruhnya menumbuk lesung.
Dung... dung...dung! Semburat warna merah memancar ke langit dengan diiringi
suara hiruk pikuk, sehingga mirip seperti fajar yang menyingsing.
Pasukan jin mengira fajar sudah
menyingsing. "Wah, matahari akan terbit!" seru jin. "Kita harus
segera pergi sebelum tubuh kita dihanguskan matahari," sambung jin yang
lain. Para jin tersebut berhamburan pergi meninggalkan tempat itu. Bandung
Bondowoso sempat heran melihat kepanikan pasukan jin.
Paginya, Bandung Bondowoso mengajak
Roro Jonggrang ke tempat candi. "Candi yang kau minta sudah
berdiri!". Roro Jonggrang segera menghitung jumlah candi itu. Ternyata jumlahnya
hanya 999 buah!. "Jumlahnya kurang satu!" seru Roro Jonggrang.
"Berarti tuan telah gagal memenuhi syarat yang saya ajukan". Bandung
Bondowoso terkejut mengetahui kekurangan itu. Ia menjadi sangat murka.
"Tidak mungkin...", kata Bondowoso sambil menatap tajam pada Roro
Jonggrang. "Kalau begitu kau saja yang melengkapinya!" katanya sambil
mengarahkan jarinya pada Roro Jonggrang. Ajaib! Roro Jonggrang langsung berubah
menjadi patung batu. Sampai saat ini candi-candi tersebut masih ada dan terletak
di wilayah Prambanan, Jawa Tengah dan disebut Candi Roro Jonggrang.
Raden Putra adalah raja Kerajaan Jenggala. Ia didampingi seorang
permaisuri yang baik hati dan seorang selir yang cantik jelita. Tetapi, selir
Raja Raden Putra memiliki sifat iri dan dengki terhadap sang permaisuri. Ia
merencanakan suatu yang buruk kepada permaisuri.
“Seharusnya, akulah yang menjadi permaisuri. Aku harus mencari akal untuk
menyingkirkan permaisuri,” pikirnya.
Selir baginda, berkomplot dengan seorang tabib istana. Ia berpura-pura sakit
parah. Tabib istana segera dipanggil. Sang tabib mengatakan bahwa ada seseorang
yang telah menaruh racun dalam minuman tuan putri.
“Orang itu tak lain adalah
permaisuri Baginda sendiri,” kata sang tabib. Baginda menjadi murka mendengar
penjelasan tabib istana. Ia segera memerintahkan patihnya untuk membuang permaisuri
ke hutan. Sang patih segera membawa permaisuri yang sedang mengandung itu ke
hutan belantara. Tapi, patih yang bijak itu tidak mau membunuhnya. Rupanya sang
patih sudah mengetahui niat jahat selir baginda.
“Tuan putri tidak perlu khawatir, hamba akan melaporkan kepada Baginda bahwa
tuan putri sudah hamba bunuh,” kata patih. Untuk mengelabui raja, sang patih
melumuri pedangnya dengan darah kelinci yang ditangkapnya. Raja mengangguk puas
ketika sang patih melapor kalau ia sudah membunuh permaisuri.
Setelah beberapa bulan berada di hutan, lahirlah anak sang
permaisuri. Bayi itu diberinya nama Cindelaras.
Cindelaras tumbuh menjadi seorang anak yang cerdas dan tampan. Sejak kecil ia
sudah berteman dengan binatang penghuni hutan. Suatu hari, ketika sedang asyik
bermain, seekor rajawali menjatuhkan sebutir telur.
“Hmm, rajawali itu baik sekali. Ia sengaja memberikan telur itu
kepadaku.”
Setelah 3 minggu, telur itu menetas. Cindelaras memelihara anak ayamnya dengan
rajin. Anak ayam itu tumbuh menjadi seekor ayam jantan yang bagus dan
kuat.
Tapi ada satu keanehan. Bunyi kokok ayam jantan itu sungguh
menakjubkan! “Kukuruyuk… Tuanku Cindelaras, rumahnya di tengah rimba, atapnya
daun kelapa, ayahnya Raden Putra…” Cindelaras sangat takjub mendengar kokok
ayamnya dan segera memperlihatkan pada ibunya.
Lalu, ibu Cindelaras menceritakan asal usul mengapa mereka sampai berada di
hutan. Mendengar cerita ibundanya, Cindelaras bertekad untuk ke istana dan
membeberkan kejahatan selir baginda. Setelah di ijinkan ibundanya, Cindelaras
pergi ke istana ditemani oleh ayam jantannya.
Ketika dalam perjalanan ada beberapa orang yang sedang menyabung ayam.
Cindelaras kemudian dipanggil oleh para penyabung ayam.
“Ayo, kalau berani, adulah ayam jantanmu dengan ayamku,” tantangnya.
“Baiklah,” jawab Cindelaras.
Ketika diadu, ternyata ayam jantan Cindelaras bertarung dengan perkasa dan
dalam waktu singkat, ia dapat mengalahkan lawannya. Setelah beberapa kali
diadu, ayam Cindelaras tidak terkalahkan. Ayamnya benar-benar tangguh.
Berita tentang kehebatan ayam Cindelaras tersebar dengan cepat. Raden Putra pun
mendengar berita itu. Kemudian, Raden Putra menyuruh hulubalangnya untuk
mengundang Cindelaras.
“Hamba menghadap paduka,” kata Cindelaras dengan santun.
“Anak ini tampan dan cerdas, sepertinya ia bukan keturunan rakyat jelata,”
pikir baginda.
Ayam Cindelaras diadu dengan ayam Raden Putra dengan satu syarat, jika ayam
Cindelaras kalah maka ia bersedia kepalanya dipancung, tetapi jika ayamnya
menang maka setengah kekayaan Raden Putra menjadi milik Cindelaras.
Dua ekor ayam itu bertarung dengan gagah berani. Tetapi dalam waktu singkat,
ayam Cindelaras berhasil menaklukkan ayam sang Raja. Para penonton bersorak
sorai mengelu-elukan Cindelaras dan ayamnya.
“Baiklah
aku mengaku kalah. Aku akan menepati janjiku. Tapi, siapakah kau sebenarnya,
anak muda?” Tanya Baginda Raden Putra.
Cindelaras segera membungkuk seperti membisikkan sesuatu pada ayamnya. Tidak
berapa lama ayamnya segera berbunyi. “Kukuruyuk… Tuanku Cindelaras, rumahnya di
tengah rimba, atapnya daun kelapa, ayahnya Raden Putra…,” ayam jantan itu
berkokok berulang-ulang. Raden Putra terperanjat mendengar kokok ayam
Cindelaras.
“Benarkah itu?” Tanya baginda keheranan. “Benar Baginda, nama hamba Cindelaras,
ibu hamba adalah permaisuri Baginda.”
Bersamaan dengan itu, sang patih segera menghadap dan menceritakan semua
peristiwa yang sebenarnya telah terjadi pada permaisuri.
“Aku telah melakukan kesalahan,” kata Baginda Raden Putra.
“Aku akan memberikan hukuman yang setimpal pada selirku,” lanjut Baginda dengan
murka.
Kemudian, selir Raden Putra pun di buang ke hutan. Raden Putra segera memeluk
anaknya dan meminta maaf atas kesalahannya Setelah itu, Raden Putra dan
hulubalang segera menjemput permaisuri ke hutan.. Akhirnya Raden Putra,
permaisuri dan Cindelaras dapat berkumpul kembali. Setelah Raden Putra
meninggal dunia, Cindelaras menggantikan kedudukan ayahnya. Ia memerintah
negerinya dengan adil dan bijaksana.